Freddy Setiawan, Keputusan Ala Pembalap

Pertengahan 2011 boleh jadi bakal dikenang oleh penggemar mobil mewah sekelas Lamborghini, Ferrari, Audi, hingga Porsche, yang ada di Indonesia. Inilah pertama kalinya, ajang balap mobil mewah alias supercar GT3 ini digelar.

Adu gesit mobil kaum jetset ini awalnya banyak berlangsung di luar negeri. Melihat animonya yang lumayan, para penggemar mobil ini berkumpul lalu mewujudkannya dalam . kegiatan nyata untuk memberi warna baru memberi warna baru dalam ajang balapan otomotif Tanah Air.

Satu di antara penggagas ajang balap mobil supercar ini adalah Freddy Setiawan, pria kelahiran Jakarta 38 tahun lalu.

Pehobi berat balapan ini merupakan Komisaris Utama PT Megah Pratama Resources, perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit dan pertambangan batu bara. Perusahaan ini telah berkecimpung hampir 13 tahun di industri.

Namun, di dunia balapan, kiprah Freddy belum selama usia perusahaannya. “Saya sebenarnya hobi balapan dari dulu. Benar-benar menekuni balap baru 2 tahun belakangan, mengisi waktu senggang,“ ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.

Awal keinginan Freddy menghadirkan balap supercar GT3 di Indonesia saat dirinya terjun dalam kejuaraan di Malaysia.

Sebagai negara dengan konsumsi produk otomotif yang relatif tinggi, semestinya Indonesia tidak ketinggalan dengan negara seperti Malaysia dan Singapura yang mampu menggelar berbagai kejuaraan tingkat dunia di negaranya.

“Di Malaysia saja ada GT3 superfast, kenapa ini tidak ada di Indonesia. Padahal menurut saya GT3 ini cerminan dari satu negara maju,” tuturnya.

Oleh sebab itu, saat event GT3 Indonesia berhasil terwujud, Freddy mengincar kegiatan ini bukan sekadar meramaikan ajang balapan Indonesia, melainkan mampu meningkatkan daya tarik dunia terhadap industri otomotif Tanah Air.

Saat seri perdana digelar Juli lalu, Freddy yang saat itu turut berlaga sebagai pembalap berhasil memenangi kejuaraan. Dia berhasil unggul dari pembalap lainnya. Trophy kejuara an perdana balap supercar Indonesia digenggamnya.

Sayangnya, saat seri kedua dihelat pada Oktober 2011, Freddy mengalami sedikit insiden pada race pertama. Dia gagal mencapai finis dan harus merelakan menonton dari pinggir lapangan saat race kedua dimainkan.

Menurut dia, insiden di sirkuit merupakan bagian dari risiko balapan. “Balapan itu bahaya, tapi sebenarnya kalau kita balapan di jalan raya lebih bahaya dibandingkan dengan di sirkuit,” katanya.

Berhadapa dengan risiko itulah yang kian mempertebal pengalamnnya, terutama dalam memimpin institusi bisnis miliknya.

Balapan bagi Freddy seperti mengambil sebuah keputusan bisnis. Balapan butuh kedisiplinan, demikian halnya dalam bisnis yang juga butuh hal itu untuk mencapai sukses.

“Kapan kita take risk, kapan kita jaga posisi.

Semua itu harus diputusin secara cepat. Dari balap melatih insting untuk berani mengambil semua langkah itu,” ungkapnya.

Selain balap, Freddy kerap pula menghabiskan waktunya untuk mengikuti kegiatan berburu dan memancing. Khusus untuk dua kegiatan tersebut, dia memilih sejumlah lokasi di Indonesia untuk disambangi.

Berburu jelas melatih kejelian dan ketaktisan, sementara memancing melatih kesabaran.

Hal yang dibutuhkan pula dalam dunia balap, jeli, taktis, sabar, dan keberanian untuk menaklukkan lawan. “Kalau pas ingin berburu atau mancing biasanya saya sampai Sulawesi atau Sumatra,” imbuhnya.

Bersama organisasi yang didirikannya, Forza Management, bapak dua anak ini ingin menjadikan balapan supercar di Indonesia.

Mimpi jadi tuan rumah

Prestasi yang ditorehkan pembalap Indonesia di ajang internasional, menunjukkan olahraga berbasis otomotif ini mampu unjuk gigi, meski dari sisi aktivitas kegiatannya belum seramai era 1990-an.

Pada masa itu, Indonesia berhasil menggelar satu seri Moto GP di Sentul International Circuit (SIC). Sejak itu, tak banyak lagi seri balapan dunia yang dihelat di Tanah Air.

Memasuki era 2000-an, kiprah pembalap Indonesia di Formula 3 mulai terasa. Indonesia pun kebagian menjadi tuan rumah untuk ajang Formula 3 tersebut hingga beberapa seri penyelenggaraan.

Melihat sejarah dan kiprah pembalapnya, Freddy Setiawan menilai Indonesia memiliki potensi menggelar berbagai event internasional di rumahnya sendiri. Memang, persoalan infrastruktur

balapan yang masih menjadi kendala, meski kita punya sirkuit Sentul.

“Mimpi saya, suatu saat saya ingin Indonesia ada F1, atau paling tidak Superbike atau Moto GP,” katanya singkat.

Sebagai pembanding, negara tetangga Indonesia seperti Malaysia dan Singapura telah berhasil menjadi tuan rumah dua kejuaraan bergengsi tersebut. Dampaknya bagi wisata, bisa dilihat sendiri.

Setiap digelar Formula One atau Moto GP, turis dari berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia berbondong-bondong terbang ke Malaysia atau Singapura.

“Bahkan India pun sekarang sudah memiliki sirkuit yang sangat bagus dan menjadi tuan rumah F1. Makin banyak event internasional, berarti kepercayaan dunia makin kuat karena risiko gangguan keamanan yang rendah. Kepercayaan ini juga kian mudah menarik investasi,”

katanya.

Masih terbatasnya sirkuit berkelas internasional merupakan tantangan bagi Indonesia untuk menggelar event kelas dunia.

“Kadang saya ingin lahan-lahan kosong di sisi kiri atau kanan jalan tol yang masih kosong dimanfaatkan jadi sirkuit. Di luar negeri, setiap kali ada jalan tol kanan kirinya berkembang dengan pesat,” tuturnya.

Meski demikian, dirinya sadar betul butuh investasi yang tak sedikit membangun sirkuit kelas internasional dengan segala kelengkapan fasilitasnya.

Namun jika tak dimulai, Indonesia bisa jadi kehilangan momentum. “Saat ini Indonesia ibaratnya beautiful princess, orang luar negeri banyak yang menanamkan modal di sini. Ini kesempatan bagi kita,” ungkapnya.(fsi)

Posting Komentar

0 Komentar